Pengertian “ Dampak Negatif dan Positif Kemajuan Ilmu dan Teknologi terhadap Pendidikan dan Peranan Guru Agama “.Dampak menurut kamus besar Bahasa Indonesia, yaitu pengaruh kuat yang mendatangkan akibat ( baik negative maupun positif ).
Teknologi, adalah kemampuan teknik yang berdasarkan pengetahuan, ilmu eksakta yang berdasarkan proses teknis ( ilmu teknik ).
Peranan Guru Agama, dari kata peran yang dalam kamus besar diartikan, sesuatu yang jadi bagian atau yang memegang pimpinan yang terutama dalam terjadinya sesuatu atau hal peristiwa, sehingga dalam pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi seorang Guru Agama harus mewarnai, bahkan membimbing, mengarahkanya tentunya untuk hal-hal yang positif.
Dari dampak positif dan negative akibat kemajuan ilmu dan teknologi tidak harus ditakuti atau di jauhi, akan tetapi harus siap dan di carikan pemecahannya untuk kearah kebaikan. Diantara solusi pemecahannya adalah perlunya dipilah dan dipilih dengan penuh kehati-hatian dalam menyerap ilmu dan teknologi yang datang dari luar.
Sebab seseorang atau sekelompok orang yang mendasarkan penilaian kepada material belaka, biasanya ia lalai bahkan lupa bahwa mereka dengan manusia yang lain adalah sama-sama ciptaan Tuhan, yang keberadaanya di dunia fana ini adalah untuk mengabdi kepada-Nya dan kepada sesama manusia. Sebagaimana di firmankan oleh Allah SWT. Dalam surat At-Tiin ayat 4-6
C.DAMPAK NEGATIF TERHADAP PENDIDIKAN
Dampak Negatif dari kemajuan ilmu dan teknologi ini telah menyeret manusia kepada kehidupan serba materi yang dalam ilmu filsafat di katakan semua diukur serba materialistik. Secara tidak di sadari seorang yang bersangkutan lupa, bahwa ia ketika di lahirkan oleh ibunya tidak membawa apa-apa selain dengan kemampuan menangis. Tetapi setelah ia memperoleh pendidikan dan kesempatan, ia berbuat sekehendak hatinya yang tampaknya ia lupa asal-usul kejadianya. Orang-orang semacam ini banyak kita jumpai dalam sejarah dunia, mulai dari Qobil dari anak Nabi Adam AS. Anak Nabi Nuh AS. Dan Qorun yang terkenal sangat kayaraya itu. Kenyataan demikian itu menunjukkan bahwa, manusia memperbudak manusia, suka mengekploitasi akan sesamanya. Oleh pepatah belanda mengatakan “ Makin tinggi atau besar jiwa dan pendidikanya atau intelektualnya, makin besar pula sifat kebinatanganya atau kebringasannya. Sifat-sifat serakah demikian tampaknya menggejala pada kurun waktu ini. Kenyataan ini dapat kita ketahui dari berbagai media masa, seperti radio, televisi dan media cetak lainya. Dan dipihak lain terjadi kemewahan dan kelebihan harta, sehingga terjadilah kesenjangan sosial yang makin melebar. Maka timbulah disini yang disebut kaum Dzu’afa atau kaum yang lemah lagi miskin.
Atas kenyataan yang dipaparkan diatas, tampaknya kebudayaan yang dihasilkan oleh daya cipta dan karya manusia tidaklah selalu membahagiakan dalam kehidupan manusia khususnya dalam dunia pendidikan, tetapi ada kalanya menyengsarakan kehidupan manusia itu sendiri. Sebagai contoh dapat kita lihat misalnya dari hasil teknologi dalam bentuk alat peledak atau alat dinamit yang diciptakan oleh Alfred Nobel pada masanya. Tetapi oleh orang yang datang kemudian dijadikannya sebagai alat pembunuh manusia atau binatang seperti ikan disungai atau dilaut. Demikian pula halnya dengan alkohol, narkotik dan sebagainya. Disini tampak betapa besar faedah dan peranan dunia pendidikan bagi manusia, terutama pendidikan Agama. Diantaranya hasil pendidikan dapat menyadarkan manusia akan kehancuran akibat penggunaan ilmu dan teknologi yang tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan akibat dari perbuatannya sendiri.
Bila dilihat hasil budaya dalam bentuk ilmu dan teknologi yang memberikan manfaat kepada manusia, maka Prof. Dr. Fadhil Al Djamaly melihat, bahwa kebudayaan ( ilmu dan teknologi ) dapat membentuk jiwa manusia dan mempertinggi harkat dan kehidupan sehari-harianya. Hal ini berarti bahwa orang yang berbudaya adalah orang-orang yang mempunyai kwalitas diri lebih baik dan lebih tinggi dari orang yang tidak berkebudayaan atau tidak pernah mendaoat pendidikan sama sekali.
Atas pendapat ini, dapat dikatakan bahwa tidak semua kebudayaan dalam bentuk ilmu dan teknologi itu semua menimbulkan dampak negative, tetapi banyak pula yang menjadikan dampaknya itu positif, yaitu memudahkan manusia dalam membantu kehidupanya dan perlu di kembangkan dibawah arahan dan dikendali pendidikan khususnya pendidikan Agama. Misalnya pesawat terbang digunakan untuk mengangkut jama’ah haji, menolong mencari orang yang kena musibah dilaut atau dipegunungan yang berhutan lebat. Demikian pula hasil kebudayaan berupa pendidikan dapat member kemudahan bagi manusia.
Pendidikan sebagai media komunikasi dan informasi ikut memegang peranan dalam kehidupan manusia dan disini tidak terkecuali peranan Guru Agama sebagai orang yang juga ikut bertanggung jawab untuk membentuk peserta didik menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Disini peranan Guru Agama telah ikut mengembangkan nilai-nilai luhur kedalam diri mereka.
Indonesia sebagai Negara yang berkembang dewasa ini sedang membangun yang letak kepulauannya berada diposisi silang antara dua samudra dan dua benua tidak dapat melepaskan diri dari berbagai pengaruh yang datang dari luar. Apalagi Indonesia sebagai Negara terbuka terhadap penanaman modal asing dan para turis. Sedikit banyak produk yang di hasilkan oleh penanam modal asing ini akan memberi pengaruh kepada bangsa Indonesia. Begitu pula dampak yang ditimbulkan oleh para turis bila tingkah laku dan budaya yang mereka bawa tidak dikontrol dan diawasi. Namun demikian sebagai negara yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa dengan dasar pancasila pengaruh-pengaruh yang tentunya merugikan itu harus ditangkal dengan mengokohkan Iman dan Taqwa kepada-Nya, disamping berusaha sehingga dampak-dampak yang merugikan moral dan kehidupan sosial ke-Agamaan dapat ditanggulangi. Maka untuk menanggulangi ini, peranan pendidikan agama, khususnya pendidikan Agama Islam tidak dapat diabaikan karna nilai moral yang diajrkannya bersifat motlak dan normative. Hal ini berarti para Guru Agama ditingkat pendidikan dasar adalah ujung tombak pendidikan, dan sekaligus menjadi tumpuan harapan masyaraka, pemerintah dan Bangsa. Mereka ini dapat berbuat banyak dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan Agama yang kelak dikembangkan ditingkat pendidikan lanjutan maupun tinggi. Bila pendidikan Agama ditingkat dasar ini kurang kokoh, maka besar kemungkinan ada diantara peserta didik bila melanjutkan pendidikan akan mengalami kesukaran dan rintangan dalam mengembangkan wawasan pendidikan Agamanya.
Sehubungan dengan peranan Guru Agama ditingkat pendidikan dasar ini ada diposisi sentral maka sudah seharusnya dampak negative dan positif dari kemajuan ilmu dan teknologi harus benar-benar diperhatikan mulai sejak awal. Peranan Guru Agama dalam memproses internalisasi dan trasformasi nilai-nilai moral dan Agama dalam pribadi peserta didik. Dengan mentransformasikan dan menginternalisasikan niali-nilai agama ini, diharapkan mereka siap dan mampu menghadapi lingkungan sosial, politik dan budaya kelak.
D. PENERAPAN SISTEM NILAI DAN MORAL AGAMA KE-DALAM PROSES PENDIDIKAN
Pada mula manusia menurut ajaran islam terdiri dari dua unsur, yaitu unsur bumi dan unsur semawi. Unsur bumi adalah jasmaniah sedangkan unsure samawi adalah rohaniah. Kenyataan ini diakui oleh filsafat yunani sampai sekarang. Jasmaniah meliputi seluruh jasad manusia, baik yang tampak melalui penglihatan, maupun yang tidak kelihatan yang terdapat dalam bagian tubuh kita. Mengingat jasmani adalah materi, iapun membutuhkan makanan pula seperti makan, minum, Vitamin dan sebagainya. Begitu pula rohani juga membutuhkan makana yang berupa santapan rohani seperti pendidikan, Agama, bimbingan, penyuluhan, rekreasi, istirahat dan sebagainya.
Jasmani mempunyai dorongan dan hawa nafsu, bila tidak dikendalikan ia dapat membuat kesalahan atau keonaran atau melanggar peraturan. Begitu pula rohani yang unsure dari Allah SWT. Yang suci itu menurut asal kejadiannya selalu mengajak manusia kejalan yang lurus dan kepada perbuatan yang benar. Karan pengaruh luar ia dapat menggelincir dan melakukan perbuatan melanggar ketentuan, sebab itulah disini memerlukan pendidikan.
Dari kurun waktu dan bila sekarang dilihat dari sudut perkembanga kedholimann ilmu dan teknologi, makin terasa perlunya manusia dibentengi dengan nilai-nilai luhur ajaran agama, mengingat pengaruhnya yang besar terhadap kehidupan manusia. Keduanya dapat menyeret manusia kepada kelalaian, Kerusakan dan lupa diri. Hal ini dapat kita saksikan melalui media masa dengan kita temukan orang-orang yang melakukan berbagai kejahatan, walau iapun pemeluk agama, shalat dan sebagainya.
Dari orang-orang yang melakukan kejahatan seperti dikemukakan diatas, tingkah laku ataupun sikapnya dapat ditelusuri melalui pendidikan dan libngkungannya. Biasanya jika pendidikannya baik, ia kan bertingkah laku baik pula sesuai dengan pengaruh lingkunganya karna telah menginterlisasikan nilai-nilai luhur agama yang didapatkan sejak kecil sampai masa dewasa. Begitu pula pendidikan agama yang pernah diterimanaya disekolah akan mempengaruhi perkembangan jiwanya dan mewarnai kepribadianya.
Kehidupan ini tak ubahnya seperti air yang keluar dari sumbernya yang bersih dan bening itu. Dalam perjalanannya menuju samudra, ia akan menemui berbagai air yang lain yang telah kena polusi, sehingga akhirnya ia tercampur dengan air-air yang aneka ragam. Kadang kala warna dan baunya berubah. Namun bila ia ditenangkan atau dalam keadaan disaring, maka dasar iar pun akan bersih atau bening itu akan kembali muncul. Demikian pula keadaan manusia dalam perjalanan hidupnya dialam yang fana ini. Menurut analisis Sigmund Freud seorang tokoh psikoanalisis, bahwa tingkah laku seseorang dalam kehidupannya didalam masyarakat atau pergaulannya, dapat di cari asal-usulnya dari masa usia dini yang berkaitan dengan keadaan pendidikan dan rumah tangganya ataupun lingkungannya. Bila keadaan kehidupan rumah tangganya baik dan diwarnai oleh norma-norma Agama, maka penampilan tingkah lakunya dalam masyarakat akan baik pula. Sebaliknya bila ia bertingkah laku sebaliknya hal ini merupakan pencerminan keadaan kehidupan rumah tangganya. Demikianlah keadaan pendidikan dalam rumah tangganya menurut analisis Sigmund Freud.
Bila kita kaji pendapat atau teori Sigmund Freud ini ada benarnya, mengingat lamanya pendidikan yang diterima oleh orang-orang yang bersangkutan, tentu saja ada pengaruhnya kepada diri orang yang bersangkutan. Bila kita kaji pendidikan agama itu berlangsung pada diri seorang minimal selama 20 tahun, yaitu sejak dimulai masa kecil sampai ia memasuki usia kedewasaannya atau masa pernikahanya. Kenyataan ini akan berlaku terutama bagi orang yang mengalami pendidikan sejak dari tingkat dasar atau dari taman kanak-kanak, maka rumah tangga atau lingkungannya yang akan mewarnai tingkah lakunya.
Pendidikan moral ini dalam islam berjalan sangat sistematis dan harus kontinu, yaitu mulai dari lingkungan keluarga sampai pada lingkungan sekolah dan masyarakat dengan berbagai saluran. Penerapan ajaran nilai dan moral agama ini antara lain melalui rukun islam yang lima yaitu :
C. CARA-CARA MENTRANSFORMASIKAN DAN MENGINTERNALISASIKAN NILAI-NILAI AGAMA DALAM PRIBADI PESERTA DIDIK
Tugas yang diemban oleh pendidik bukan hanya mengajar saja, tetapi juga mendidik. Dengan tugas rangkap ini diharapkan para kaum pendidik dapat mempengaruhi dan mengarahkan perkembangan kepribadian pserta didiknya kearah kedewasaan rohaniah. Pengembangan kepribadian ke arah kedewasaan ini dilakukan secara berangsur-angsur, sehingga pada suatu ketika dalam peserta didik kita timbul rasa tanggung jawab. Bila kesadaran akan tanggung jawab ini telah terbentuk, maka dalam dirinya sudah ada tanda-tanda kedewasaan.
Para ahli didik telah sepakat, bahwa salah satu tugas yang telah diemban oleh pendidik adalah mewariskan nilai-nilai luhur budaya kepada peserta didik dalam upaya membentuk kepribadian yang intelek berkepribadian tanggung jawab melalui jalur pendidikan. Dengan melalui pendidikan yang diproses secara formal, nilai-nilai luhur tersebut termasuk nilai-nilai agama akan menjadi bagian dari kepribadiannya. Upaya mewariskan nilai-nilai ini sehingga menjadi miliknya disebut mentransformasikan nilai. Sedangkan upaya yang dilakukan untuk memasukkan nilai-nilai kedalam jiwa peserta didiknya sehingga menjadi miliknya disebut, menginternalisasikan nilai. Maka kedua upaya ini dalam pendidikan dilakukan secara bersama-sama dan berlangsung serempak.
Untuk melakukan kedua kegiatan pendidikan ini banyak cara yang dapat dilakukan oleh setiap pendidik, antara lain dengan jalan :
1. Pergaulan
2. Memberikan suri tauladan
3. Mengajak dan mengamalkan
Dibawah ini ketiga cara tersebut akan dibahas sebagai berikut :
Pendidikan berpokokpangkal kepada pergaulan yang bersifat edukatif antara pendidik dan peserta didik. Melalui pergaulan pendidik dan peserta didik saling berinteraksi dan saling menerima dan memberi ( umpan balik ). Pendidik dalam pergaulan memegang peranan penting, baik dengan jalan baik dengan jalan berdiskusi maupun tanya jawab.
Sebaliknya peserta didik pergaulan ini mempunyai kesempatan banyak untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas baginya. Dengan demikian wawasan mereka mengenai nilai-nilai agama itu akan diinternalisasikannya secara baik, karna pergaulan yang erat itu menjadi keduanya tidak merasakan adanya jurang. Biasanya kelemahan dalam pendidikan adalah antara pendidik dan peserta didik seolah-olah ada jurang penghalang karna antara keduanya kurang dekat secara kejiwaan. Bagi pendidik yang berpengalaman akan Arif, bahwa ada diantara peserta didiknya yang kurang menghayati nilai-nilai Agama yang seharusnya dikomunikasinya, dan ia akan segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk diperbaiki hubungan ini. Misalnya peserta didik yang kurang mengerti diajaknya berjalan bersama ketika pulang dari sekolah atau dipanggilnya kekantor ataupun kerumahnya. Melalui pergaulan yang demikian peserta didik yang bersangkutan akan leluasa mengadakan dialoq dengan Gurunya. Cara yang ditempuh pendidik ini sangat efektif dengan menanamkan nilai-nilai agama. Keakraban ini yang paling penting diciptakan dalam proses pendidikan, dan harus diciptakan oleh setiap orang pendidik.
Suri tauladan sebagaimana telah dikemukakan bahwa, merupakan sebuah alat pendidikan yang sangat efektif bagi kelangsungan komunikasi nilai-nilai agama. Konsep suri tauladan dalam pendidikan “KiHjar Dewantoro” mendapat tekanan utamanya yaitu; ing ngarso song tulodo. Melalui ing ngarso sung tulodo pendidik disini menampilkan keteladanya dalam bentuk tingkah laku, pembicaraan, cara bergaul, amal ibadah, tegur sapa dan sebagainya. Nilai-nilai agama yang di tampilkannya dalam bentuk pembicaraan dapat didengar langsung oleh peserta didiknya. Melalui contoh-contoh ini nilai-nilai luhur agama tersebut akan diinternalisasikan sehingga menjadi bagian dari dirinya, yang kemudian ditampilkannya pula dalam pergaulanya dilingkungan rumah tangga atau ditempat ia bermain bersama-sama temanya.
Suri tauladan dapat menjadi alat peraga didepan kelas langsung bagi peserta didiknya. Bila Guru yang memberikan contoh aplikasi nilai-nilai luhur Agama, maka peserta didik akan mempercayainya, karna yang mencontohkannya adalah orang kedua yang dipercayainya sesudah kedua orang tuanya sendiri. Secara paedagogis, semua manusia sejak kecilnya diberikan Allah SWT, Fitrah untuk cenderung mencari suri tauladan yang dapat dijadikannya pedoman untuk berbuat. Dalam sejarah islam dapat kita lihat kisah seorang Habil meniru burung menggali tanah untuk menguburkan saudaranya Qobil yang dibunuhnya, karna iri hati tidak diperkenankan kawin dengan iklimah. Demikian pula halnya dengan peserta didik kita pada waktu belajar. Fitrah untuk mencari suri tauladan ini harus dapat dimanfaatkan oleh pendidik apabila keteladanan ini kita analisis secara rinci, ia bertumpu kepada unsur-unsur pembentukan diri, karan keteladanan yang di jalankan oleh pendidik, secara tidak langsung akan diinternalisasikan atau diserap secara langsung oleh para peserta didik.
pada hakikatnya di lemabaga pendidikan ini peserta didik harus akan suri tauladan, karna sebagian besar hasil pembentukan kepribadian adalah keteladanan yang diamatinya dari para pendidiknya. Dirumah keteladanan ini diteria dari kedua orang tuanya dan dari orang-orang dewasa dalam keluarganya. Begitu pula keteladanan yang dilihatnya dilingkungan sosial ditempat ia berinteraksi dengan lingkunganya. Oleh sebab itulah kepada para pendidik hendaknya menampilkan Ahlaq Karimah sebagaimana telah diajarkan oleh Nabi SAW.
Agam Islam tidak menyajikan keteladanan yang hanya dikagumi, tetapi untuk diinternalisasikan, kemudian diterapkan dalam pribadi masing-masing dalam kehidupan sosial. Diharapkan setiap peserta didik mampu meneladani nilai-nilai luhur Agama sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Bila kita analisis secara psikologi atau dari sudut ilmu jiwa, bahwa peserta didik secara ghorizah atau bakat potensi ingin meniru yang dikaguminya, bahkan mungkin ia bertaqlid atau menerima sebagaimana adanya tingkah laku para pendidiknya karna guru-gurunya dalah orang-orang yang dipercayainya memberi pelajaran dan pendidikan kepada mereka. Taqlid Ghorizi ( meniru secara naluriah ) ini mencapai puncaknya, bila penampilan orang yang hendak dijadikannya panutan ini menimbulkan rasa kagumnya, baik ketika dalam berbicara, gerak-geriknya maupun perbuatannya. Jadi keuntungan Taqlid Gharizi ini dalam pendidikan adalah karna dalam diri peserta didik terdapat keinginan untuk menirunya.
MEMOTIFASI UNTUK MENGAMALKAN
Nilai-nilai luhur agama islam yang diajarkan kepada peserta didik bukan hanya untuk dihafal hanya menjadi ilmu pengetahuan atau kognitif tapi yang lebih penting adalah untuk dihayati ( efektif ) dan diamalkan ( psikomotorik ) kedalam kehidupan sehari-hari. Islam adalah agama yang menuntut kepada pemeluknya untuk mengerjakanya sehingga menjadi umat yang beramal saleh.
Islam mengaku bahwa manuasia dalah mahluk yang dualism yang menyatu didalam dirinya unsure jasmani dan rohani yang dijaga perkembangannya secara seimbang. Amal salih merupakan aplikasi dari penghayatan terhadap nilai-nilai luhur Agama.
Didalam teori pendidikan terdapat metode belajar yang bernama learning by doing yaitu belajar dengan mempraktikan teori yang dipelajari. Dengan mengamalkan ilmu yang dipelajari akan menimbulkan kesan yang mendalam sehingga menjadi milik sendiri ( internalisasi ). Hasil belajar terletak pada psikomorik yaitu mempraktikkan ilmu yang dipelajari seperti nilai-nilai luhur Agama didalam praktek sehari-hari.
Secara pedagogis agam islam yang dipelajari itu dituntut untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan itu kepada semua Guru Agama, harus dapat memberi motifasi atau dorongan agar semua ajaran Islam itu diamalkan dalam kehidupan pribadi peserta didik, agar nilai-nilai luhur Agama ini tampak dalam prilaku mereka.
Nabi Muhammad SAW, telah mempraktekan metode latihan dan membiasakan dengan mengajarkan semua yang diajarkan Nabi dengan beliau mengatakan.
( Hadits riwayat Bukhori ). Cara atau metode pendidikan yang dilakukan Nabi ini ditegaskan pula dalam hadits lain yang artinya sebagai berikut : “Sesungguhnya aku berbuat yang demikian itu agar kalian mengikutiku dan mempelajari salatku”. Sebagai bahan pemikiran bagi guru agama mengenai metode mengajar dan mengajarkan yang di pelajari itu, maka dapat kita aplikasikan pedagogiknya atau pengalamannya ( psikomotor ) sebagai berikut :
1. Pendidik harus memberi motifasi dan merangsang perhatian peserta didiknya untuk mau mengamalkan nilai agama dengan penuh kesadara.
2. Pendidik harus berusaha membetulkan kekeliruan pemahaman dari peserta didik dari nilai agama yang dipahami selama ini.
3. Mendidik harus mempraktekan dari teori yang ditransferkan kepada peserta didiknya yang dikenal dengan metode demonstrasi dan eksperimen.
KESIMPULAN
1. Sebagai dampak hasil intraksi manusia dengan sesamanya dan lingkungannya, timbullah kebudayaan yang tentunya membawa dampak baik maupun dampak yang kurang baik sebagai konsekwensi dalam menunjang aktifasi kehidupannya baik secara individual maupun kelompok sosial.
2. Sebagai mahluk manusia terkadang kita lupa, bahwa hasil ciptaanya itu menyusahkan dan membawa kehancuran mereka sendiri, sampai pada ia menciptakan sesuatu yang menghukum dirinya sendiri, yaitu dengan mengingkari dirinya sebagai mahluk relegius. Akibatnya timbul kekacauan, kebrutalan, dan kebiadapan dimana-mana adalah akibat ulah manusia itu sendiri.
3. Bila manusia dengan hasil cipta karsanya tidak dikontrol dengan nilai-nilai luhur yang terdapat dalam Agama, manusia akan dengan semena-mena bertindak dengan normative dan konstantif yang regius. Sebab itu nilai-nilai kebudayaan dan teknologi sangat tergantung dan relative ( nisbi ). Oleh sebab itu pula perhatian dan keikutsertaan pendidik khususnya Guru Agama sangat-sangat dibutuhkan pentransper nilai-nilai Agama sekali gus sebagai suri tauladan diatas bumi ini.
BAB III
PENUTUP
Puji dan shukur alhamdulillah kepada Allah SWT, atasa segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, penulis akhirnya dapat melaksanakan dan menyelesaikan tugas mata kuliah, Studi Bahasa Arab dengan baik walau dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang ada.
Selanjutnya penulis berharap sangat atas saran, masukan dan bimbingan dari rekan atau teman demi yang lebih baik dimasa-masa mendatang khususnya bimbingan dari Bapak Dosen Pengampu Bahasa Arab Beliau Bapak H.Ma’mun Efendi Nur, agar makalah yang sederhana ini ada manfaatnya.
Kemudian penulis berharap sangat agar makalah yang sangat simple dan sederhana ini mendapatkan bimbingan dan arahan dan sekaligus diterimanya sebagai persyaratan tugas yang telah diberikan, dan harapan semoga ada manfaatnya khususnya bagi penulis dan lainnya, amiin.
DAFTAR PUSTAKA
M.Arifin, Aminuddin Rosyad, Dasar-Dasar Pendidikan, Jakarta : Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997
Yayasan Penyelenggara, Penterjemah dan Penafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1971
Ma’mun Efendi Nur, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Ilmiah Dengan Berbahasa Arab.