Marilah kembali kita panjatkan kesyukuran kita kepada Allah atas segala ni’mat yang diberikan kepada kita. Terutama pada hari ini, setelah kita menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan, kita berkumpul di sini untuk duduk bersimpuh mengagungkan Asma-Nya, menyatakan dan mempersaksikan kebesaran-Nya. Sungguh Maha Besar Allah yang kebesaran-Nya tak tertandingi. Sungguh Maha Pemurah Allah yang nikmatnya tak akan pernah terhitung.
Kita bersyukur bahwa kita mampu menyelesaikan ibadah Ramadhan kita pada tahun ini, dan insya Allah ibadah kita diterima oleh Allah sehingga kita menjadi orang-orang yang beroleh keberuntungan; menjadi orang-orang yang kembali ke dalam kesucian. Baginda Rasul SAW telah menjanjikan bahwa orang-orang yang telah berpuasa Ramadhan dengan baik, akan diampuni dosa-dosanya dan dia menjadi bersih dan suci laksana bayi yang baru dilahirkan. Inilah yang disebut dengan fitrah; satu potensi yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia sejak dia dilahirkan ke muka bumi ini. Potensi yang bebas dari segala noda dan dosa,
bahkan dengan potensi ini manusia mempunyai kecenderungan untuk beriman kepada Sang Khaliq dan untuk senantiasa berbuat baik. Rasulullah SAW bersabda:
Setiap anak terlahir dalam keadaam fitrah. Orangtuanya yang akan membuat dia yahudi, nasrani, dan majusi.
Dengan demikian jelaslah bahwa fitrah bukanlah satu keadaan di antara kebaikan dan kejahatan, akan tetapi fitrah adalah kekuatan yang berisi kecenderungan kepada kebaikan. Oleh karena itulah, sebagian besar ulama berkeyakinan bahwa seseorang yang meninggal sebelum dia mukallaf maka dia akan masuk surga dengan sebab fitrahnya yang belum ternodai oleh kesalahan dan dosa. Demikian pula, kalau kita mampu mempertahankan kondisi fitrah yang kita dapatkan setelah berpuasa Ramadhan ini sampai kita nanti dipanggil ke hadirat Ilahi azza wa jalla, dengan kesalahan-kesalahan yang sudah terampunkan, maka kitapun akan sama seperti bayi tadi yaitu memperoleh keridhaan dan surga-Nya. Maka, alangkah gembira dan bahagianya bagi kita yang memperoleh derajat seperti ini. Sebagaimana Rasululullah mengatakan bahwa ada dua kegembiraan bagi orang yang berpuasa, kegembiraan ketika idul fitri dan kegembiraan ketika bertemu dengan Allah di akhirat nanti pada saat mana orang yang berpuasa termasuk golongan yang diistimewakan.
Pada hari ini, ada sebersit rasa haru yang muncul di hati kita ketika kita mendengar takbir dikumandangkan, tahmid atau puji-pujian dilantunkan. Kita teringat akan suasana idul fitri di kampung halaman kita masing-masing. Pada hari ini biasanya kita berkumpul dengan keluarga besar kita. Kita yang masih mempunyai orangtua biasanya datang dan duduk bersimpuh di haribaan mereka seraya menyampaikan permohonan ampun dan maaf atas kesalahan dan kekhilafan kita sebagai anak, yang terkadang berbuat dan berkata yang menyakitkan hati mereka. Kita juga mengucapkan terima kasih atas pengorbanan yang selama ini mereka lakukan untuk kita sampai kita menjadi seperti sekarang ini. Terlalu berat perjuangan mereka menyayangi dan mendidik kita sewaktu kita kecil untuk kita lupakan. Terlalu besar pengorbanan mereka untuk kita abaikan. Allahumma ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, dan dosa kedua orangtua kami. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kami.
Kita juga biasanya saling berkunjung dan bersalam-salaman dengan sanak saudara, handai tolan, tetangga, teman-teman dan rekan-rekan kita untuk saling memaafkan yang tersilap dan
melupakan segala ganjalan yang kemungkinan ada di hati. Kita rajut kembali tali persaudaraan sesama kita, kita bangun kembali keharmonisan di antara kita. Kita pertebal rasa kebersamaan antara kita. Inilah, ma’asyiral muslimin, yang disebut shilaturrahim, satu ajaran Islam yang luhur yang harus selalu kita jaga dan lestarikan dalam kehidupan kita, dalam setiap waktu dan tempat. Adalah idul fitri hanya satu momentum dari sekian banyak yang kita punya untuk mewujudkan shilaturrahim antar sesama.
Imam Muslim meriwayatkan, ketika Rasulullah ditanya tentang amalan yang dapat memasukkan orang ke surga. Maka beliau menjawab:
Bahwa engkau mengabdi kepada Allah dan tidak berlaku syirik, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menghubungkan shilaturrahim.
Hadits ini menegaskan bahwa shilaturrahim disejajarkan nilai dan kepentingannya dengan ibadah-ibadah seperti shalat dan zakat. Ini artinya, untuk mencapai kebaikan yang sempurna, kita tidak cukup hanya shalat, puasa, zakat dan haji saja. Kita pada waktu yang sama juga harus membina hubungan yang baik dengan sesama muslim dan sesama manusia pada umumnya. Hal ini sesuai dengan peringatan Allah SWT dalam al-Quran dengan firman-Nya yang berbunyi:
Akan terhina manusia di manapun mereka berada kalau mereka tidak menjalin hubungan baik dengan Allah dan hubungan baik dengan sesama manusia.
Shilaturrahim merupakan salah satu fondasi kehidupan bermasyarakat yang didasari atas keinginan dan itikad untuk menjalin kesepahaman, membina keharmonisan dan kerukunan di antara kita dalam rangka persatuan dan kesatuan ummat. Shilaturrahim adalah ajaran islam yang berlaku lintas batas etnik, bahasa, tradisi, tingkat ekonomi dan status sosial. Demikian juga shilaturrahim tidak mengenal madzhab dan aliran keagamaan yang kita anut. Siapapun kita, apapun adanya kita, madzhab apapun yang kita anut, partai apapun yang kita ikuti, maka kita wajib untuk mewujudkan shilaturrahim yang tidak hanya untuk kalangan separtai, tidak hanya untuk teman semadzhab saja.
Jika kita memperhatikan phenomena yang muncul di kalangan kita umat Islam dari dulu hingga sekarang ini, maka muncul perasaan prihatin dalam diri kita. Sebagian kita berpecah belah dan centang perenang hanya karena masing-masing kita mempunyai aliran dan madzhab pemikiran keagamaan yang berbeda. Kita terkadang larut dalam keyakinan akan kebenaran aliran yang kita punya, dengan tidak memberikan ruang sedikitpun bahwa saudara kita yang lain dari madzhab dan aliran yang lain juga mungkin mencapai dan memiliki kebenaran. Kita terkadang hanyut dalam permainan istilah ‘kita’ dan ‘mereka’ dalam pengertiannya yang sungguh sangat sempit dan seakan-akan kita telah mendirikan tembok-tembok kokoh antara ‘kita’ dan ‘mereka’ sampai-sampai tidak tertembus oleh nilai-nilai luhur kemanusian yang diajarkan oleh agama.
Berbeda pendapat adalah wajar, dan dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan. Sebuah keniscayaan karena dua sumber suci yang kita punya yaitu al-Quran dan Hadits memberikan keleluasaan kepada kita untuk melakukan penfasiran-penafsiran dalam kerangka pemahaman ajaran Islam. Bisa kita bayangkan kemudian bahwa, dengan perbedaan latar belakang budaya, sosial, politik dan pendidikan, para ulama dari dulu hingga sekarang sudah tentu akan menghasilkan perbedaan pemikiran keagamaan sebagai hasil dari ijtihad dan interpretasi mereka terhadap teks-teks suci tersebut. Oleh karena itulah, tidak mungkin dan tidak boleh ada klaim satu-satunya kebenaran oleh sekelompok orang dan menyalahkan kelompok yang lain.
Menurut Armahedi Mahzar, seorang pemikir Muslim kontemporer, jika kita mau mengamati phenomena seperti disebutkan di atas secara lebih mendalam, maka dapat disimpulkan bahwa ada tiga penyakit yang menghinggapi sebagian umat Islam. Tiga penyakit ini sangat berpotensi untuk menjadi penghambat dan penghalang bagi terwujudnya upaya mempererat shilaturrahim dan pada gilirannya akan memupuskan harapan bagi tercapainya persatuan dan kesatuan umat. Padahal persatuan dan kesatuan adalah syarat mutlak bagi terwujudnya umat yang kuat, sejahtera dan jaya. Ketiga penyakit tersebut adalah: satu, intellectual arrogance atau kesombongan intelektual yang dapat membuat orang menjadi absolutist: berfikir hitam putih dan mengklaim bahwa kebenaran hanya ada pada diri dan kelompoknya belaka. Penyakit kedua adalah emotional arrogance atau kesombongan emosional yang membuat orang menjadi fanatik membabi buta dan berlebih-lebihan terhadap kelompok dan alirannya. Orang-orang yang seperti ini akan bersikap prejudice dan antipati terhadap kelompok lain dan tidak pernah mau mendengar pendapat atau fatwa yang berasal dari luar aliran yang dia anut.
Sebagai konsekuensinya maka muncullah penyakit yang ketiga yaitu social arrogance atau kesombongan social. Penyakit ini akan membuat orang bersikap eksklusif, menutup dan mengasingkan diri dari orang-orang dan lingkungan selain kelompok dan alirannya.
Dalam konteks inilah, saya kira kita harus menyadari bahwa kita sudah semestinya menghindari sikap-sikap seperti itu dengan tidak saling menonjolkan perbedaan yang kita miliki. Akan tetapi sebaliknya kita harus sadar bahwa kita sama-sama dibalut dan diikat oleh aqidah islamiyah yang mengajarkan pentingnya nilai persaudaraan di antara kita. Kita jauhkan diri kita dari sikap iri, dengki, dan prasangka dan curiga tanpa alasan, dan kita pererat hubungan shilaturrahim antara kita sesama muslim. Karena Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya orang-orang mu’min itu bersaudara maka berishlahlah di antara saudara-saudaramu.
Masih banyak agenda umat ini yang belum terselesaikan yang membutuhkan perhatian dan tindakan nyata kita secara bersama-sama, dari pada kita hanya terkonsentrasi kepada perbedaan-perbedaan syar’iyah furu’iyah belaka. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa di akhirat kelak Allah tidak akan menghukum kita karena kesalahan kita dalam berijtihad dalam kerangka pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama kita, akan tetapi Dia akan menghukum kita karena kita berpecah belah dan mengenyampingkan persatuan dan kesatuan. Allah akan tanya kepada setiap kita tentang sikap dan perilaku kita kepada keluarga, tetangga, teman, dan bahkan Dia akan tanya tentang sikap kita kepada lingkungan sekitar.
Kita akan ditanya tentang apa yang sudah kita perbuat ketika ada tetangga kita yang kelaparan, ada di antara mereka yang hari ini makan besok puasa. Kita akan ditanya tentang saudara-saudara kita yang miskin dan apa yang sudah kita lakukan untuk mereka. Kita akan ditanya tentang apa yang sudah kita lakukan ketika ada anak yang bunuh diri karena tidak mampu bayar uang sekolah, ketika ada orang miskin yang karena kemiskinannya mereka menjual akidah. Semua pertanyaan seperti itu pasti akan ditanyakan kepada setiap kita, dan kita harus mempersiapkan jawabannya. Pada saat itulah, kita tidak akan bisa lagi menyalahkan orang lain, mencari kambing hitam seperti yang sering kita lakukan di dunia ini. Setiap kita akan dimintai pertanggung-jawabannya dalam ikut berpartisipasi membina persatuan dan kesatuan ummat.
Rasulullah SAW sering mengingatkan kita tentang pentingnya persaudaraan umat ini. Pernah beliau mengumpakan bahwa persaudaraan sesama muslim itu bagaikan satu bangunan, yang masing-masing komponen bangunan itu saling menopang. Beliau bersabda:
Lebih dalam lagi, Rasulullah SAW mengingatkan kepada kita bahwa antara kita dengan saudara-saudara kita sesama muslim seharusnya bagaikan satu tubuh di mana kalau salah satu anggota tubuh kita sakit, maka seluruh tubuh kita juga terasa sakit.
Bahkan, Rasulullah SAW dengan tegas sekali mengaitkan hubungan persaudaraan sesama muslim ini dengan kadar kualitas iman seseorang. Beliau bersabda: Tidak beriman seorang di antara kamu, kalau dia tidur kekenyangan sementara ada tetangganya yang tidur dalam keadaan lapar.
Hadits lain berbunyi:
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia mewujudkan shilaturrahim.
Tidak beriman seseorang di antara kamu sampai dia ingin agar apa yang ia miliki dan ia sukai juga ada dan dimiliki oleh saudaranya.
Pernahkah hati kita merasa sakit ketika ada sebagian saudara-saudara kita yang teraniaya? Pernahkah kita merasa gelisah ketika ada berita bahwa sebagian orang muslim hidup dalam kelaparan? Pernahkah pada saat kita makan, kita bertanya apakah saudara-saudara kita yang lain makan seenak apa yang kita makan, hidup semewah dan setenang kita? Pernahkah kita datang ke kantong-kantong kemiskinan di Indonesia yang sering menjadi lahan subur bagi pengeroposan akidah? Atau kita hanya puas berdiam diri di tengah kemegahan dan ketenangan hidup kita sambil menyalahkan orang lain? Atau kita sudah merasa puas dengan shalat dan puasa, kemudian ikut atau mendirikan majlis ta’lim yang hanya terbatas untuk golongan kita saja, tanpa mau membaur dengan orang kebanyakan?
Pertanyaan-pertanyaan ini, sauadara-saudaraku sekalian, patut kita pertanyakan kepada diri kita masing-masing, karena jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah ukuran yang tepat buat kualitas dan kadar keimanan kita. Allahu akbar!! Sebagian kita kadang marah kalau dikatakan tidak atau kurang beriman, sementara tidak sadar apa yang sudah diperbuat sebagai bukti keimanan dan keislaman mereka. Iman tidak tercermin dari rupa dan pakaian kita. Iman tidak dapat diukur dari panjangnya jubah dan tebalnya jenggot kita. Iman tidak bisa dilihat dari tingginya kopiah dan mahalnya sarung kita. Iman tidak bisa dilihat dari jauhnya kita sekolah dan banyaknya sertifikat yang kita koleksi. Tapi iman tercermin dari
sikap dan akhlak kita, baik kepada Allah atau kepada sesama dan lingkungan sekitar. Junjungan kita, baginda Rasul SAW, menyatakan Allah tidak akan melihat dan menghitung penampilan fisik kita, tetapi Allah hanya melihat hati dan tingkah laku kita. Taqwa itu di sini kata Rasul sambil beliau menunjuk ke dada.
Demikianlah, shilaturrahim adalah awal dari semua usaha kita dalam rangka mewujudkan persaudaraan sesama umat yang kokoh dan kuat. Diawali dengan shilaturrahim, kita masing-masing akan mampu saling memahami, untuk kemudian berusaha untuk saling menolong, saling berbagi, memberi dan menerima. Dengan shilaturrahim rezeki yang kita dapatkan akan menjadi berkah karena kemanfaatannya dapat dirasakan tidak hanya oleh kita, akan tetapi juga oleh saudara-saudara kita yang lain. Dengan shilaturrahim, hidup dan umur kita akan terasa lebih berkah dan bermakna karena kita bisa saling memahami, membantu dan berbagi rasa antar sesama. Rasul Muhammad SAW bersabda:
Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia mewujudkan shilaturrahim.
Lebih jauh lagi, dengan shilaturrahim maka akan terwujud amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi syarat bagi terciptanya umat yang sejahtera, aman dan damai. Demikian juga kita akan menjadi orang-orang yang beruntung karena dengan shilaturrahim kita akan dapat saling bernasehatan dalam kebenaran dan kesabaran sebagaimana yang diamanatkan dalam surah al-ashr, bahwa manusia akan selalu rugi kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, dan saling mengingatkan dengan kebenaran dan kesabaran. Pada gilirannya akan tercipta wahdatul ummah atau persatuan dan kesatuan ummat yang di dalamnya terdapat keragaman suku bangsa, budaya, bahasa bahkan madzhab keagamaan. Terwujudlah persatuan atas dasar nilai-nilai universal yang kita miliki yaitu aqidah islamiyah. Ini yang insya Allah akan membuat kita berjaya di dunia dan di akhirat kelak. Allah SWT berfirman:
Dan berpegang teguhlah kalian semua pada tali agama Allah (aqidah islamiyah) dan janganlah kalian berpecah belah. Dan ingatlah akan ni’mat Allah ketika dulu kalian saling bermusuhan kemudian Allah melembutkan hati kalian sehingga kalian semua menjadi bersaudara.
Akhirnya marilah kita tutup khutbah ini dengan dua buah hadits sebagai bahan renungan bagi kita. Yang pertama diriwayatkan oleh Imam Baihaqi ketika Rasulullah SAW memberikan wejangan kepada salah seorang sahabat beliau yaitu Abu Hurairah. Hadits itu berbunyi:
Wahai Abu Hurairah, engkau harus berakhlaq mulya. Abu Hurairah bertanya apakah yang dimaksud dengan akhlaq mulya itu wahai Rasul? Nabipun menjawab: engkau hubungkan shilaturrahim dengan orang yang memutuskannya dari padamu, engkau maafkan orang yang berbuat zalim kepadamu, dan engkau beri sesuatu orang yang mengharamkanmu.
Hadits yang kedua diriwiyatkan oleh Tirmidzi yang artinya: di sekitar arsy nanti di hari kiamat ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaian dan wajahnya yang memancarkan cahaya. Mereka bukan para nabi atau para syuhada, tetapi para nabi dan syuhada iri kepada mereka. Ketika ditanya oleh para shahabat siapakah gerangan mereka, Rasulullah menjawab: mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling mengunjungi karena Allah.
Semoga ibadah Ramadhan tahun ini diterima oleh Allah rabbul alamin dan menjadi momentum bagi kita semua untuk bercermin diri, bermuhasabah, atas perilaku kita terhadap saudara-saudara kita selama ini. Mudah-mudahan kita termasuk golongan orang-orang yang senantiasa terbuka hatinya untuk menjalin dan mempererat tali shilaturrahim, demi terwujudnya umat yang bersatu padu di bawah naungan rahmat dan maghfirah-Nya. Allahumma ya Allah, baguskanlah perangai dan laku kami, dan jauhkanlah kami dari perangai dan tingkah laku yang tercela. Amien ya rabbal alamin.
Gak tak tulis Arabe kesuwen.....
Semoga manfaat dan menjadikan barokah li wa lakum
05.10
Aflachah Kang



0 komentar:
Posting Komentar